![]() |
Pic |
Kebelakangan ini, peranan
mahasiswa yang dianggap sebagai agen arus perubahan yang diinginkan masyarakat
bergema semula. Pandangan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai kelompok
intelektual dan sebagai agen gerakan pembaharuan, hendaklah menyadarkan kita (mahasiswa)
sebagai kelompok intelektual muda.
Dalam hal itu, mahasiswa
dituntut untuk dapat berperanan lebih nyata terhadap perubahan atau paling
tidak menjadi pendokong dari sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.
Kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk melakukan perubahan terhadap
sistem yang cenderung berorientasi pada kekuasaan yang membelenggu demokrasi,
menuntut peranan yang lebih dari mahasiswa sebagai agen perubahan serta sebagai
mekanisma kawalan.
Kedudukan mahasiswa sebagai
mekanisma kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada
pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik,
namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan dimandulkan oleh kekuasaan yang
tidak mengenal apa yang dikatakan “kritikan”. Dalam konteks itulah, letak
peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent
of change.
Namun kalau dinilai, gerakan
mahasiswa yang baru saja dibahas, sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas
serta kehilangan konsep. Itu semua, disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan
suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia.
Hanya beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam
menggagas gerakan pembaharuan.
Gerakan Mahasiswa
Kalau kita bandingkan
mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah jauh berbeda. Dulu,
mahasiswa dengan idealismenya dapat menjadi payung kepada masyarakat marhain
yang perlukan pembelaan. Peristiwa Baling 1974 adalah manifestasi jelas peranan
mahasiswa yang dimaksudkan.
Semangat juang yang
digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu, dengan setiap saat
melakukan penyadaran terhadap rakyat, berhasil menghasilkan beberapa orang
pemimpin ternama hari ini.
Bandingkan hal tersebut
dengan mahasiswa sekarang, yang mengalami degradasi, baik dari segi
intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri
mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi
persoalan.
Ada dua persoalan yang
mendasari analisis mengenai sebab-sebab hal tersebut, sehingga mahasiswa lebih
bersikap hedonis. Pertama, pengaruh budaya Barat yang tidak tersekat telah
meracuni pemuda dan mahasiswa. Mereka dengan mudah meniru budaya asing tanpa
menyadari risikonya, seperti berpesta-pestaan, dan menghabiskan masa kepada
perkara-perkara yang lansung tidak bermenafaat.
Kedua, adanya pengaruh dari
sistem pendidikan yang membentuk mentaliti mahasiswa. Ternyata, pola atau
sistem yang digunakan oleh Orde Baru untuk melenyapkan idealisme serta daya
kritis sangatlah ampuh dan efektif, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis
dalam bidang ekonomi yang cenderung konsumtif. Di samping itu, sistem yang
diterapkan dalam pendidikan, yang berteraskan lulus peperiksaan membentuk pola
pikir serta mentaliti mahasiswa, ternyata hanya menjadikan mereka sebagai kuli.
Mulai dari sekolah rendah,
kita dihulur dengan ilmu yang bersifat dogma, serta sejarah yang dimanipulasi
sedemikian rupa. Itu pun kita terima sebagai dogma. Dalam sistem persekolahan
menengah pun, pada saat ini sama saja seperti itu. Sebab, kita diajari untuk
mempelajari ilmunya dengan orientasi kerja. Jadi, kemerdekaan berfikir serta
mempelajari ilmu serasa dibelenggu sistem yang membawanya pada orientasi
tersebut.
Sistem GPA/CGPA yang
diterapkan dengan kaku dan diperburukkan dengan kos pendidikan yang tinggi
membebani mahasiswa, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap daya kritis
mahasiswa serta idelismenya. Sebab, mahasiswa dituntut secara penuh berfikir
mengenai hal-hal akademis semata-mata disamping tidak memikirkan soal-soal
kerakyatan jika ingin terus menuntut di universiti.
Kondisi seperti itu,
menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu menara gading dan jauh dari
jangkauan kalangan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi kelas yang elite dan
sama sekali tidak tersentuh dengan persoalan kerakyatan. Dari sistem seperti
itu, terbentuklah mentaliti mahasiswa yang saat ini kita rasakan hedonis dan
pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup yang serba praktis dan
tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran. Kita terjebak dengan hanya
berdebat di bilik kuliah.
Jarang sekali mahasiswa cuba
berfikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau pun bagaimana konsep
memajukan bangsa di era globalisasi ini. Mereka lebih suka diajak bersenang-senang
untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif
(jika dibanding dengan kegiatan ilmiah).
Melihat fenomena tersebut,
maka kita mempunyai kewajiban untuk mengubah mentalitas yang hedonis dan
pragmatis tersebut kembali kepada jati diri mahasiswa, yang mempunyai idealisme
tinggi. Salah satu jalan alternatif untuk itu adalah dengan menghadapkan
langsung mahasiswa pada persoalan-persoalan kerakyatan.
Di samping itu, supaya
berjalan seimbang, fungsi unversiti sebagai fungsi pengabdian masyarakat harus
dilaksanakan tidak hanya terbatas pada simbol, tetapi benar-benar real di dalam
aplikasinya. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara
gading. Dengan begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang
akan dapat dibangunkan kembali.
Oleh: Zulkiply Harun
Sumber:
http://permai1.tripod.com/jati1.html
0 komentar:
Posting Komentar
Say something :)